Filem ini diangkat dari kisah nyata. Tentang sepasang suami istri yang berjuang sekuat tenaga demi mencari referensi bagi penyembuhan penyakit anak tunggalnya, yang menderita penyakit langka. Leukadystropheis. Biasa disebut ALD dalam dunia medis. Yaitu adanya kesalahan metabolisme sejak lahir yang menjadi penyebab turunnya fungsi otak. Namun menurut keterangan seorang dokter dlm film ini, ALD hanya mempengaruhi pria yang usianya antara 5sampai 10 tahun.
ALD diindikasikan sebagai penyakit yang mematikan. Kemungkinan hidup penderita hanya sampai 2 tahun saja ,sejak diagnosa awal. Dalam ALD, enzim yang memetabolis lemak yang tinggi pada darahnya sehingga merusak jaringan otaknya, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Para dokter belum memahami cara kerjanya.
Pada saat menerima kabar anak tunggalnya menderita penyakit mematikan tsb, Pasangan suami istri Odone,sangat terpukul. Apalagi dokter tak bias memberinya harapan akan kemungkinanya untuk sembuh. Namun, pasangan tsb menjadi terobsesi mencari berbagai informasi dari berbagai resensi2 medis yang berkaitan dengan penyakit langka tsb. Tanpa mengenal lelah, mereka bahu membahu saling mencari informasi sana sini, sambil tetap merawat anak mereka di rumah.
Bukan hanya pencarian medis yang mereka lakukan, tapi juga seorang teman yang dapat di percaya untuk bias mendampingi Lorenzo menjalani hari-harinya dalam menghadapi penyakitnya. Maka merekapunmmendatangkan sahabat Lorenzo dari sebuah negara kecil, dimana meeka pernah tinggal disana.
Dalam film ini digambarkan tekanan batin yang dialami suami istri Odone (dimainkan oleh pemain watak Susan Sarandon sebagai ibu Lorenzo, dan Nick Nolte sebagai ayah).
Tekanan yang begitu dalam dalam upaya pencarian pengobatan putranya, membuat tak ada lagi kedamaian dalam diri mereka. Relasi mereka berdua sebagai sepasan suami istripun mulai terganggu. Dan ini berimplkasi terhadap orang-orang di sekitar mereka, seperti pada perawat yang mengasuh Lorenzo, jugaterhadap keluarha besar mereka.
Dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh perkumpulan orang tua yang anak-anaknya menderita penyakit yang sama dengan Lorenzo, suami istri Odone mulai banyak menerima masukan dari berbagai informasi dari sesame anggota tentang penanggulangan penyakit yang diderita anak mereka. Namun sempat terjadi kekecewaan dari para peserta forum, karena pengurus yayasan dianggap kurang maksimal mencari segala informasi yang berkaitan dengan penyakit ALD. Forum dianggap kurang fungsional.
Titik terang tentang adanya seorang professor yang sedang focus meneliti tentang adanya zat dalam minyak zaitun, yang bias menghasilkan myelin sebagai zat yang mampu memetralisir lemak darah dalam otak, mampu membangkitkan kembali semangat mereka dalam usaha pencarian selanjutnya yang dianggap tak membawa hasil.
Dan upaya merekapun akhirnya membawa hasil. Myelin yang mereka butuhkan tengah di teliti dan di buat oleh seorang professor yang sebentar lagi akan pensiun. Dan usaha untuk mendapatkan legalitas penemuan inipun menarik karena banyaknya kepentingan berbagai pihak, untuk memonopolinya dan memegang hak menghandlenya bagi orang lain.
Namun akhirnya ayahanda Lorenzo mendapat penghargaan atas upayanya yang tak kenal lelah mengadakan survey dan riset ke berbagai pihak. Sebuah film yang sangat mengharukan dan penuh dedikasi. sendiri ke berbagai pihak, guna mendapatkan minyak yang akhirnya dinamakan minyak Lorenzo. Film ini didedikasikan bagi upaya mengadakan proyek myelin agar lebih banyak lagi di produksi sebgai penyembuhan penyakit ALD.
Tagged as:ALD, Pengobatan review from http://www.kabarsehat.com/2009/02/lorenzo-oil/#comment-9
Grief is not an illness, but psychiatric illness can occur with bereavement.
Bereavement is one of life’s most disruptive and distressing experiences. The grief that ensues is not an illness but, rather, the manifestation of the adjustment process. This fact does not preclude the occurrence of psychiatric illness in the wake of bereavement. Clinicians need to recognize and support adaptive grief as well as diagnose and treat bereavement-related psychiatric conditions. The year 2008 saw publication of several studies that clarified how best to understand bereaved people.
Several studies in different populations indicate that most bereaved people never meet criteria for major depression, and that those who do should be treated like anyone else with a major depressive episode. In a study of 306 individuals with major depression related to recent bereavement or to other adverse life events, researchers documented that depression is not a manifestation of normal grief. Similarly, in a reanalysis of epidemiologic data collected in war-torn Lebanon that included 193 depressed participants (J Affect Disord 2009 Jan; 112:102), bereavement-related and bereavement-unrelated depression showed no differences in prevalence, symptom profile, impairment, treatment seeking, or recurrence; average episode duration, however, was longer in the bereaved group. In an open, uncontrolled, 12-week, pilot study of escitalopram for 30 bereaved and depressed individuals, researchers found a clinically and statistically significant reduction in depression and somewhat weaker, although still significant, benefits for grief symptoms (J Affect Disord Jul 2; e-pub ahead of print).
Then again, not all bereavement-related illness is depression. Although complicated grief is not included in DSM-IV, recent research has now identified this condition as distinct from normal grief and from bereavement-related depression. For people with complicated grief, symptoms acquire a life of their own and hinder, rather than help, adjustment. Complicated grief is characterized by pronounced and prolonged yearning for the deceased; difficulty in accepting the death; preoccupation with thoughts and memories of the person who died; bitterness, guilt, and anger; and avoidance of reminders that the person is gone.
A growing body of research is beginning to identify neurobiologic characteristics of complicated grief. In a functional MRI study of 23 bereaved women (NeuroImage Aug 15; 42:969), reminders of the death triggered activation in the nucleus accumbens in the group of 11 women who met criteria for complicated grief, but not in the group of 12 bereaved women without complicated grief. The degree of activation correlated with intensity of yearning for the deceased. The nucleus accumbens is part of the reward pathway, and its activation in complicated grief is different from neurobiological changes in depression. Other researchers studied variation in the monoamine oxidase A (MAO-A) promoter gene in 66 bereaved depressed patients, with and without complicated grief (Neuropsychobiology 2007; 56:191). In women only, the long allele (associated with greater MAO-A activity) was strongly associated with symptoms of complicated grief, but not with depression severity, post-traumatic stress symptoms, or other anxiety symptoms. People with complicated grief were more likely than the others to have lost a close family member.
Knowledge of risk and protective factors can inform early interventions to reduce mental health problems after bereavement. Sandler and colleagues recently reviewed their body of research in this area (Death Stud Jan; 32:59), including their intervention program for parentally bereaved children, which used strategies that increased protective parental behaviors by positive parenting, encouraged children’s emotional expression and positive coping skills, and reduced threat appraisals.
In summary, bereavement is a clinically meaningful life event that can trigger prolonged impairing symptoms. Although most people adjust to an important loss, major depression or complicated grief occurs in a minority; these conditions are distinct from each other and require targeted treatment. Clinicians need to be aware of risk and protective factors in order to facilitate positive outcomes from the grieving process.
Health is one condition of the body or mind is good, freedom from illness and feeling happy. One indication of happy is laugh. Laugh is make the sound and movements of the face that show lively amusement
Laugh is healthy: Dr. Stephen Juan , Scientist from Australia, said in his book "The Odd Body" According to physic, laugh is a series activity irregular. It usually within odd vocal, and it's a spontan expression
Kinds of laugh:
Normal Laugh, It's an expression of happy feeling, and it's a spontan expression
Abnormal laugh, it's not a spontan expression
Advantages of Laugh....:
Disappear to illness
When you're laughing, brain gives stimulating of endocrin to expend of nature analgetic In Florida hospital, USA a patient post operation ough to watch a comedy, and they need a litlle bit analgetic than patient doesn't watch it.
Auto immune
Dr. Norman Cousin said in his book "Anatomy of an illness as perceived by the patient" With laugh, auto immune of illness is grow up. It cause, when some one who laughing, body is stimulating Biochemistry reaction, and it pressing totally of cortisol. And cortisol is one of system to border of human's auto immune
Dr. Kathleen Dillon from Western New England university, Springfield He proved what Dr. Norman Cousin said Watching a comedy can make immunoglobine A to grow up
To prevent the quarrel
Dr. Alice Isen from Maryland University USA, in her interesting riset. A cople who whathced comedy had more solution to over the problem
Anti Depression
Dr. Sharon Dimmer from Michigah University writed in psychological reports that in psychotherapy that laugh is a weapon to substract
maybe, laugh is not the best medicine for illness but laugh is a good medicine for your happiness
Januvia (Sitagliptin) is an oral diabetes medicine that helps control blood sugar levels. It works by regulating the levels of insulin your body produces after eating.
Januvia is for people with type 2 diabetes (non-insulin-dependent) diabetes. It is sometimes used in combination with other diabetes medications, but is not for treating type 1 diabetes.
Januvia may also be used for purposes other than those listed here. Important information about Januvia Do not use Januvia if you are allergic to sitagliptin or if you are in a state of diabetic ketoacidosis (call your doctor for treatment with insulin).
Before taking Januvia, tell your doctor if you are allergic to any drugs, or if you have kidney disease. If you have any of these conditions, you may not be able to use Januvia, or you may need a dosage adjustment or special tests during treatment.
You may take this medicine with or without food. Follow your doctor's instructions.
Follow your doctor's instructions about any restrictions on food, beverages, or activity while you are taking Januvia.
Januvia is only part of a complete program of treatment that also includes diet, exercise, weight control, and possibly other medications. It is important to use this medicine regularly to get the most benefit. Get your prescription refilled before you run out of medicine completely. Before taking Januvia Do not use this medication if you are allergic to Januvia, or if you are in a state of diabetic ketoacidosis (call your doctor for treatment with insulin).
Before taking Januvia, tell your doctor if you are allergic to any drugs, or if you have kidney disease. If you have any of these conditions, you may not be able to use Januvia, or you may need a dosage adjustment or special tests during treatment. FDA pregnancy category B. Januvia is not expected to be harmful to an unborn baby. Tell your doctor if you are pregnant or plan to become pregnant during treatment. It is not known whether Januvia passes into breast milk or if it could harm a nursing baby. Do not use this medication without telling your doctor if you are breast-feeding a baby. Januvia should not be given to a child younger than 18 years old without a doctor's advice.
Pelvis berasal dari kata latin yang berarti waskom/palsu. Pelvis dibentuk oleh 4 tulang, yaitu : 2 os coxae, os sacrum, dan os coccyges. Disini juga terdapat 3 persendian, yaitu : 2 aticulatio sacroiliaca, dan symphisis pubica.
Pelvis dibagi oleh bidang yang miring yang melewati promotorium ossis sacri, margo anterior ala ossis sacri, linea arcuata ossis ilii, linea pectinea ossis pubis, crista pubica margo superior symphisis pubica, menjadi pelvis major dan pelvis minor. Garis yang melewati bangunan-bangunan tersebut dikenal sebagai linea terminalis.
Pelvis dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh tulang, ligamentum, dan otot. Cavitas pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat kepada vicera urinaria, alat kelamin pelvik, rektum, pembuluh darah, dan limfe, dan saraf.
Pelvis merupakan bagian dari truncus yang terletak caudodorsal abdomen. Abdomen sendiri terdiri atas abdomen propius dan pelvis. Oleh karena itu cavum abdominis juga terdiri atas cavum abdominis propius dan cavum pelvis.
Cavum pelvis :
Dalam pengertian sehari-hari, disebut: Pelvis minor dan pelvis vera, yaitu ruangan yang terletak caudal promotorium ossis sacri, line terminalis dan symphisis ossis pubis. Ruangan yang terletak di cranialnya dan dibatasi oleh kedua ossis ilii disebut : pelvis major dan pelvis spuria.
Skeleton pelvis :
Disebelah ventral dan lateral dibentuk oleh sepasang ossa coxae. Disebelah dorsal dibentuk oleh oss sacrum dan oss coccyges. Pada posisi anatomis ; spina iliaca anterior superior dan tuberculum pubicum terletak dalam 1 bidang frontal. Apex coccyges dan tepi cranial symphisis ossis pubis terletak dalam 1 bidang horizontal.
KERANGKA PELVIS
•Terbentuk oleh :
-2 dinding lateral
- 1 dinding posterior
- 1 dasar yg tertutup oleh peritoneum
•Tulang yang membentuk pelvis :
- 2 tulang coxae pd bagian depan dan samping
- Os Sacrum dan os coccygis pd bagian belakang
•Posisi anatomi :
- Bidang frontal : SIAS dan Tuberculum Pubicum
- Bidang Horizontal : Bagian atas symphisis pubis danujung Os Coccygis
•Apertura pelvis Superior
Melalui :
- Linea terminalis yg dibentuk oleh promontorium
- Bagian depan ala ossis sacri
- Linea iliopectinea
- Crista pubica
- Bagian atas Symphisis pubis
•Apertura pelvis Inferior ( bentuk 2 segitiga )
- Basis bersama : Tuberischiadicum kiri dan kanan
- Kaki segitiga belakang : Lig. Sacrotuberosum, puncak os coccygis
- Kaki segitiga depan : ramus inferior ossis pubis dan ramus ossis ischii, puncak arcus pubis ( Lig. Arcuatum)
•Diameter apertura pelvis inferior :
- Diameter anteroposterior : dr pinggir bawah symphisis pubis smp ujung os coccygis
- Diameter transversa : antara tuber ischiadicum kiri dan kanan
- Diameter obliqua : pertemuan ramus inferior ossis pubis dan ramus ossis ischii menuju titik pertemuan lig. Sacrotuberosum dan lig sacrospinosum.
pelvis 1 (human): A female, B male, C right hip bone, D lateral view, E medial view; 1 sacrum, 2 coccyx, 3 symphysis, 4 ilium, 5 pubis, 6 ischium, 7 acetabulum, 8 sacral foramen, 9 ischial tuberosity, 10 lesser sciatic notch, 11 ischial spine, 12 greater sciatic notch, 13 posterior inferior iliac spine, 14 posterior superior iliac spine, 15 iliac crest, 16 anterior superior iliac spine, 17 anterior inferior iliac spine, 18 acetabular notch, 19 superior ramus of pubis, 20 pubic tubercle, 21 pubic crest, 22 obturator foramen, 23 inferior ramus of pubis, 24 inferior ramus of ischium, 25 iliac fossa, 26 articular surface for sacrum, 27 sacroiliac joint, 28 sacral promontory
KLASIFIKASI PELVIS
•Berdasarkan bentuk apertura pelvis superior
( Caldwell dan Molov ) :
1. Gynecoid (bentuk PAP bundar )
2. Android ( bentuk PAP spt Jantung )
3. Anthropoid ( Bentuk PAP oval memanjang,
diameter anteroposterior > diameter transversa)
4. Platypelloid ( bentuk PAP ovoid, diameter
transversa lebih panjang )
•50% tipe Gynoidbaik utk melahirkan
•Berdasarkan diameter pelvis :
1. Dolichopellic ( D. anteroposterior > D. transversa )
2. Mesatipellic ( D. anteroposterior = D. Transversa )
3. Brachypellic ( D. transversa > D. anteroposterior )
Foetus X lahir Jika :
- Conjugata obstetrica <>
- Jarak kedua tuber ischiadicum <>
PERSENDIAN PADA PELVIS
•Symphisis pubis
•Articulatio sacroiliaca
Ligamentum yg menahan perputaran sacrum ke depan :
- Lig. Sacroiliaca interossea
- Lig. Sacroiliaca dorsale
- Lig. Iliolumbale
Ligamentum yg menahan perputaran sacrum ke belakang :
- Lig. Sacrotuberosum
- Lig. Sacrospinosum
•Articulatio Lumbosacralis
•Articulatio Sacrococcygea
DIDING PELVIS
•Dibagi menjadi 2 dinding lateral, 1 dinding post dan sebuah dasar, serta 1 dinding depan
•Dinding Depan : dibentuk oleh permukaan belakang corpus pubis dan symphisis pubis
•Dinding belakang :dibentuk oleh os sacrum dan coccyx, lateral ditutupi m. piriformis dan m. coccygeus dan facianya.
•Dinding lateral :susunan tulang coxae di bawah linea terminalis
•Dinding bawah ( dasar ) : menutupi apertura pelvis inferior dan memisahkan cavum pelvis di sebelah ats yg berisi viscera dgn perineum di sebelah bawah
•Pembagian lain :
1. Pars muscularis : M. levator ani
3 bagian yaitu m.pubococcygeus, m.puborectalis, m.iliococcygeus
2. Pars membranosa : Diafragma urogenital yg menutupi segitiga depan dari apertura pelvis inferior
•M. Coccygeus
( otot di belakang m. levator ani )
Persyarafan : rami ventralis nn. Sacrales 3-4. Bagian anterior oleh ramusperinealis dari n. pudendus
Fungsi : Menyokong vicera dari pelvis ( vesica urinaria, prostat, vesicula seminalis pd laki-laki, vesica urinaria serta vagina pd wanita
FISIOLOGI PELVIS
•Menyokong vicera dalam pelvis :
Vesica urinaria, prostat dan vesicula seminalis pd laki-laki, vesica urinaria serta vagina pd wanita
•Menahan peninggian tekanan intra abdominal contoh waktu mengedan
•Membantu kerja diafragma dlm meningkatkan tekanan intra abdominal
•M. Levator prostatae pd laki-laki dan M. pubovaginalis pd wanita membantu mengotrol proses miksi
•M. Puborectalis selain membantu proses defekasi, jg membantu mengarahkan kepala bayi yg mau lahir ke arah bawah
1. Round ligament
2. Uterus
3. Uterine cavity
4. Intestinal surface of Uterus
5. Versical surface (toward bladder)
6. Fundus of uterus
7. Body of uterus
8. Palmate folds of cervical canal
9. Cervical canal
10. Posterior lip
11. Cervical os (external)
12. Isthmus of uterus
13. Supravaginal portion of cervix
14. Vaginal portion of cervix
15. Anterior lip
16. Cervix
VASKULARISASI PELVIS
A. Pudenda interna meninggalkan pelvis di antara M. piriformis dan M.coccygeus, kemudian menyilang spina ischiadica, masuk perineum melalui foramen ischiadicum minus, kemudian berjalan dlm canalis pudendalis ( Alcock) berdama vena dan nervus, menembus belakang difragma urogenitale, masuk deep perineal pouch.
INERVASI PELVIS
•Plexus sacralis : n. glutealis superior dan inferior, n. curaneus posterior, n. ischiadicus, dll
•N. Pudendus ( segmen sacralis 2,3,4): memberi cabang n. rectalis inferior, akhirnya menjadi perinealis dan n. dorsalis penis
•N. rectalis inferior menguru M. sphinter anis externus dan kulit sekitar ani
•N. Perinealis bercabang menjadi ramus superficialis dan ramus profundus di dalam canalis pudendalis.
Ramus profundus masuk ke dalam superficialis perineal pouch dan mengurus M. Bulbospongiosus, M.ischiocavernosus, M.transversus perinei superficialis dan M. bulbus penis
Ramus superficialis menjadi 2 N. Scrotalis Post ( Labialis) menuju Scrotum atau labia.
•N.dorsa,is penis mengurus M. transversus perinei profundus dan M. sphincter urethrae
DIABETES tidak bisa disembuhkan,tetapi bisa dikendalikan. Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi kunci utama. Fakta membeberkan, setiap 10 detik satu orang meninggal karena komplikasi diabetes dan dalam waktu bersamaan ditemukan dua penyandang diabetes baru.Data lain menunjukkan, lebih dari 80 juta diabetesi (orang dengan diabetes) berada di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Di seluruh dunia, diabetes melitus (DM) membunuh lebih banyak manusia dibanding HIV/AIDS. Sedemikian besarnya angka kejadian dan kematian akibat penyakit terkait kadar gula darah itu.Sejak 2007,badan dunia PBB menjadikan 14 November sebagai Hari PBB untuk Diabetes (UN World Diabetes Day). Diabetes merupakan penyakit kronis noninfeksi dan tidak menular pertama yang diangkat PBB. Sebelumnya, PBB hanya menetapkan Hari TBC,Malaria, dan HIV/AIDS, yang merupakan penyakit infeksi dan menular.Di Indonesia,Hari Diabetes Nasional diperingati lebih cepat,tepatnya 12 Juli lalu. Angka penyandang penyakit yang populer dengan sebutan kencing manis itu memang cukup fantastis, menempati urutan keempat terbesar di dunia.Pada 2006 ditemukan 14 juta diabetesi. Dari 50% yang sadar mengidapnya,hanya 30% yang rutin berobat.WHO memperkirakan, pada 2030 nanti sekitar 21,3 juta orang Indonesia terkena diabetes. Ada empat kala atau tipe diabetes,yaitu tipe 1,tipe 2,tipe lain (disebabkan adanya penyakit atau faktor lain),dan DM pada kehamilan (gestasional). Diabetes tipe 1 bisa dialami sejak kanak-kanak atau remaja dan si penyandang harus mendapat asupan insulin rutin seumur hidup (baik melalui injeksi maupun inhalasi). Sementara itu,diabetes tipe 2 umumnya dialami orang dewasa dan tidak terkait insulin. Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association (Persadia) Prof Dr dr Sidartawan Soegondo SpPD-KEMD FACE, DM tipe 2 merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus DM.Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat,seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang serat), kurang aktivitas fisik,stres. ”Kegemukan adalah faktor kunci terjadinya DM tipe 2. Aspek genetik memang tidak dapat dicegah, tapi gaya hidup bisa diubah,” ujar Sidartawan dalam presentasi yang disampaikan pada peringatan Hari Diabetes Nasional di Jakarta, beberapa waktu lalu. DM tipe 2 sebenarnya dapat dikendalikan atau dicegah terjadinya melalui gaya hidup sehat, seperti makanan sehat dan aktivitas fisik teratur. Namun, seiring perkembangan zaman, terjadi perubahan gaya hidup, seperti konsumsi menumenu junk food yang tinggi kolesterol serta malas bergerak akibat terlalu mengandalkan transportasi dan teknologi yang kian canggih. DM tipe 2 biasanya ditemukan pada orang dewasa usia 40 tahun ke atas, sekarang menyerang di usia lebih muda.”Tahun lalu usia termuda 20 tahun, sekarang ada anak usia 8 tahun sudah terkena diabetes,” ungkap konsultan metabolik endokrin kelahiran Amsterdam itu. Upaya terbaik yang harus dilakukan adalah pencegahan dengan mendiagnosis prediabetes sejak dini. Sebab, kalau sudah telanjur terkena, sangat sulit mengobatinya.Komplikasinya pun beragam, seperti kerusakan pembuluh darah dan saraf, infeksi (gangren kaki), gigi goyang atau tanggal,hipoglikemi (kadar gula darah terlalu rendah),impoten,penyakit jantung, stroke,hingga kebutaan. ”Jika sudah terkena diabetes, kadar gula harus dijaga dan dipertahankan sebaik mungkin. Selain berolahraga, pengaturan pola makan berperan penting,” tandas Business Development Manager Kalbe Nutritionals dr Iwan S Handoko. Bentuk penanganannya ada yang bersifat primer (mencegah jangan sampai menjadi diabetes), sekunder (jangan sampai terjadi komplikasi),dan tersier (jangan sampai terjadi kecacatan).
>Sydney - Kabar baik bagi pria-pria yang telah dikhitan. Para ahli sepakat khitan terbukti efektif menekan penularan HIV. Jika dilakukan di seluruh dunia, 2 juta infeksi baru HIV bisa dicegah."Dua penelitian terakhir malah berhenti lebih awal, karena menunjukkan keefektifan yang tinggi tentang khitan dibanding kelompok kontrol yang menolak dikhitan," jelas peneliti dari Universitas Illinois, Amerika Serikat, Richard Bailey, dalam Konferensi Masyarakat AIDS Internasional di Sydney, Australia.Kesimpulan tersebut didapat setelah 3 penelitian yang diadakan di Afrika. Semua penelitian membuktikan keefektifan khitan untuk mencegah penularan HIV. Khitan bisamenurunkan resiko penularan HIV hingga 60 %.Jika khitan ini dilakukan di seluruh dunia, maka bisa mencegah 2 juta infeksi baru HIV dan 3 ratus ribu kematian di sub-Sahara Afrika selama 10 tahun.Bailey dalam konferensi itu juga mengajak pemimpin negara berkembang untuk mempromosikan khitan kepada warga laki-lakinya. Namun dia menyadari bahwa itu tidak mudah, karena khitan bukan hanya praktik medis sederhana. Khitan telah identik dengan budaya, agama, dan kepercayaan tertentu."Untuk itu tidak mudah bagi menteri kesehatan atau politisi untuk menyebarkan perlunya khitan di negara yang tidak punya tradisi itu," kata Bailey.Namun jika promosi pentingnya khitan ini tidak dimulai dari sekarang, akan lebih berbahaya untuk jangka panjang, karena semakin banyak yang akan terinfeksi HIV."Waktu yang tepat adalah sekarang,"